Total Tayangan Halaman

Senin, 19 Desember 2011

SELISIK

9 Tahun ‘Sengkarut’ 
Bumi Muda Sedia


SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com

Sembilan tahun sudah berjalan, Kabupaten di penghujung  Timur Aceh itu bergelar; Aceh Tamiang (Atam), atau dijuluki Bumi Muda Sedia. Bak ‘Bayi’ yang dibesarkan dari gelimangan ‘vitamin dan Gizi’ bergeming tak mampu berjalan, meski harus dengan terseok.

‘Dehidrasi’ Bayi Tamiang disebabkan orang cerdas yang pintar mempecundangi dan menggerogoti pundi-pundi rupiah kabupaten itu, tak terkecuali; korupsi menjalar menyelimuti tubuh Aceh Tamiang  memaksa bayi sukar untuk maju dan berkembang.

Sengkarut telah mengakar, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) yang prestise bersama proyek-proyek mercusuar-nya tak mampu mengubah wajah Tamiang menjadi lebih maju, malah terkesan DPU memlihara ‘orang bermasalah’, bukan berjiwa membangun.

Lalu; Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) membiarkan pembukaan perkebunan kelapa sawit tanpa surat ijin. Agaknya kantor yang satu ini mendapat pupuk sawit bersubsidi dari perusahaan perkebunan, yang terlihat subur bukan pohon kelapa sawit. Tapi petinggi di Dishutbun yang semakin subur.

Jalan dua jalur….., Alkes Rp.8,8 miliar, Jalan lingkungan di kantor Pemkab Rp.15 miliar, Pembelian Tanah Negara oleh Negara untuk lahan Politeknik Rp.33 miliar, ini adalah sedikit contoh proyek bermasalah yang menyita dan menyedot anggaran pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang ratusan miliar. Luber ke kantong pejabat korup.

Tak ada tanda-tanda ‘mereka’ jadi pesakitan; hening dari jeratan hukum, meski media dan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) terus menyorot kasus-kasus yang terjadi di Aceh Tamiang. Ah…biarkan saja, Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu hihi…lucu juga ya.

Agaknya, bukan saja Dehidrasi pembangunan, tapi juga Dehidrasi Moral dan Etika di Bumi Muda Sedia, hingga menyeret nama seorang oknum wakil ketua DPRK dan Anggota DPRK Aceh tamiang dalam kasus Alkes dan penjualan tanah Negara kepada perusahaan perkebunan.

Akankah Bayi Tamiang yang baru berusia Sembilan tahun tersebut bisa berjalan?...meski gizi dan vitamin cukup tapi terdehidrasi oleh penggerogot?...lalu sampai kapan Aceh Tamiang bisa memiliki pejabat yang bermoral dan beretika, demi kemajuan pembangunan dan peradaban?...semua masih hanya sebatas tanda tanya. “Itukan jawabannya, anak kecil juga tau pak hehe...” (lihat table proyek bermasalah)   
****

    
Masih ingat tokoh controversial yang membangun kota Jakarta di era 70-an; tak lain adalah Ali Sadikin—bang Ali—dirinya di cemooh, dikatakan Bang Ali membangun Jakarta dilakukan dari hasil Perjuadian dan Prostitusi. Tak peduli apa kata orang, akhirnya Jakarta terbangun dengan megah hasilnya sangat pantastis bisa diterima dan dinikmati banyak orang hingga kini.

Ada sisi menarik, meski di cemooh. Sosok Bang Ali bukanlah penggerogot uang Negara seperti kebanyakan pejabat, dirinya tulus. Agar kota Jakarta bisa terbangun dari tidur panjang.  Bang Ali tidak menjual mimpi tapi fakta.

Bagaimana dengan pejabat di Aceh Tamiang; masih tanda tanya besar, akuntabilitas dan loyalitasnya perlu dipertanyakan, buktinya segudang efek Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa di raih Pemkab Aceh Tamiang, hanya berjalan di tempat.

Sektor perindustrian, perkebunan, minyak dan gas. Merupakan devisa terbesar  disusul potensi wilayah pesisir dan pertanian, tapi hanya sebatas kepentingan pribadi dan kelompok. Tak ada upaya mengubah fotensi menjadi devisa bagi kepentingan pembangunan di Aceh Tamiang.

Seberapa pedulikah pejabat di tubuh Pemkab Aceh Tamiang mau mem-push pembangunan disemua sector, agar  tercapai pembangunan yang merata dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang menerima dampak positif dari kue pembangunan itu. Mari kita lihat sepak terjang mereka.
****

Alkes dan Jalan Lingkup Kantor Sekdakab Rp.23,8 miliar
Memang sengkarut di tubuh Pemkab Aceh Tamiang masih dalam tahap penyelidikan oleh Tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda dan Kajati Aceh. yang jadi pertanyaan oleh masyarakat; sampai kapan status penyelidikan berubah jadi penyidik?...

Sampai kapan masyarakat Bumi Muda Sedia harus menunggu, peningkatan status pemeriksaan oleh tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh itu?...khususnya untuk kasus Alkes dan Jalan Lingkup Kantor Sekdakab Aceh Tamiang.

Sampai-sampai Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari); Sayed Zainal MSH mengingatkan Tim Tipikor Polda dan Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, untuk tidak bermain-main dalam kasus tersebut, sebab keterlibatan pejabat tinggi dilingkungan Pemkab Atam.

Seperti ditulis LembAHtari dalam spanduknya “Bapak Kapolda dan Kajati Aceh, kami sudah jenuh menunggu janji pemberantasan dan penegakkan hokum; indikasi kasus penyalahgunaan wewenang, mark up. Proyek sarana prasaran jalan lingkup sekdakab Rp.15 miliar dan Alkes Rp.8,8 miliar di Aceh Tamiang.” Demikian tulis spanduk rentang LembAHtari itu.

Agaknya, happy ending dua kasus ini diragukan keseriusannya dalam penanganannya. “kami bosan dan jenuh menunggu janji-janji penegakkan hukum dari dua institusi prestise—Polda dan Kejati—di Aceh ini, jangan sampai masyarakat apatis dan menganggap ada kolusi untuk penyelesaian kasus tersebut.” Tegas Sayed Zainal kepada Lesusoh, akhir pecan lalu.     

Sayed menohok, telah terjadi makelar kasus dalam pengadaan paket proyek senilai Rp.23,8 miliar Tahun Anggaran 2010. Sebab ada indikasi pihak tertentu mencoba untuk membelokkan dan mengaburkan data dan fakta lapangan. Akibatnya para pelaku dan tokoh inisiator tidak terjamah hokum.

Bahkan;  jika tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh lemah dalam mengungkap kasus ini, diyakini mereka (tim) tidak mampu mengungkap aliran dana yang disalurkan kedalam mega proyek bermasalah tersebut.

Sayed menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) nomor 113/PMK.07/2010 tanggal 14 Juni 2010, dimana dalam Pasal 3 ayat 1-2 masih melarang melakukan pengalihan dana yang tidak sesuai dengan Permenkeu.

Sedangkan Sekdakab Aceh Tamiang telah melakukan pembelok-kan aliran dana itu; seperti, paket pengerjaan pengerasan dan pengaspalan jalan komplek perkantoran Pemkab Aceh Tamiang senilai Rp.6.404.755.000 dengan nomor kontrak SPK/APBN-P/BP/2010 tanggal 9 Nopember 2010. Dimenang oleh PT Merangin Karya Sejati—domisi Jambi.

“Saya pikir ini adalah tindakan atau perbuatan melwan hokum dan terindikasi telah terjadi mark-up. Ini bisa menjadi perbandingan perusahaan yang dikalahkan dalam pelaksanaan tender, padahal dalam dokumen penawaran pelelangannya lebih riil—nyata.” Ujarnya.

Disisi lain, Sayed juga membeberkan yang berkaitan dengan masalah pengadaan Alkes yang kontraknya senilai Rp.8,842.363.000 nomor Surat Perintah Membayar (SPM) 439/-/SPP-LS/1.02.01.2010 atas nama CV Payusma domisili Banda Aceh.

Menurut Dia; ada hal yang aneh dan janggal. Sebab tanggal kontrak 10 Desember 2010. Tiga hari kemudian  tanggal 13 Desember 2010 dana bisa di cairkan sementara; indikasinya, barang belum masuk. Sangat ironis. Pihak penerima barang menandatangani laporan perincian dana proyek—progress—sehingga terjadi pencairan. Apalagi indikasinya barang yang ada tidak sesuai dengan spesifikasi awal.

“Dalam kasus ini LembAHtari komit bersama elemen masyarakat akan menggiring dan mengawal kasus ini sehingga proses akhir dalam pemberantasan kasus korupsi di tubuh Pemkab Aceh Tamiang akan terungkap. Termasuk jika oknum Sekda dan oknum anggota Dewan DPRK Aceh Tamiang harus diproses sesuai aturan yang berlaku.” Jelasnya.

Disisi lain, yang dikuatirkan lembAHtari terhadap kinerja Tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh; tidak bekerja secara serius. Sayed membuat perbandingan; seperti kasus pembangunan jalan—pengerjaan pengaspalan— desa Suka Mulia/Suka Damai sepanjang 6 ribu meter di Kecamatan Banda Mulia tahun 2007 lalu. Atas nama PT Karya Muda senilai Rp.600 juta lebih.

Dalam proses hokum dipersidangan; pelaku utamanya yang merugikan Negara tidak terjamah oleh hokum—putusan pengadilan 22 Februari 2011 di Pengadilan Negeri Kualasimpang—bahkan ada yang tidak dihadirkan sebagai saksi, sehingga yang menjadi korban bukan pelaku utama. “itu contoh kasus mafia preadilan yang terjadi di Aceh Tamiang, agaknya hukum bisa dibeli dengan uang. Apa memang seperti itu aturan hukumnya pak.” Tanya Sayed mengakhiri.
****

Konflik PT AS, PT MPLI dan PT SKPI
Membuka  Lahan tanpa ijin seluas 850 hektar di kawasan desa Pematang Durian dan Desa Sekumur  Kecamatan Sekrak PT AS melakukan tindakan ilegal, sedangkan PT MPLI mengerjakan tanpa ijin land clearing lanjutan dari Gubernur di wilayah Blutan desa Kaloy dan  PT Sinar Kaloy Perkasa Indo membuka perluasan HGU 200 hektar di kawasan konservasi gunung titi akar di desa Wono Sari dan Harum Sari di Aceh Tamiang; mulai tersudut.

Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal MSH; minta kasus Kadishutbun Aceh Tamiang (Atam) diproses secara hukum (penyelidikan dan penyidikan), sebab telah mengangkangi wewenang dan melakukan salah kebijakan terhadap PT Anugrah Sekumur (PT AS), PT Mestika Prima Lestari Indah (PT MPLI) dan PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PT SKPI).

“Saya minta kepada pihak Polres untuk melakukan Penyelidikan dan penyidikan terhadap Kadishutbun Atam; Syahri SP, terkait laporan LembAHtari di bulan Juli 2010 dan Somasi terhadap Kadishutbun Atam. Kita minta ini segera diproses.” Tegas Sayed kepada wartawan di Posko Pengaduan LembAHtari Minggu lalu.

Sayed mengungkapkan, bukti-bukti lapangan sudah di paparkan LembAHtari dalam pertemuan tim di Aula Polres Aceh Tamiang pada tanggal 13 April 2011 lalu. Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan dari lahan Revitalisasi, Kelompok Tani Fajar Tamiang, Kelompok Tani Wonolestari dan Perangkat Desa Kaloy serta masyarakat tiga desa yang menjadi imbas pembukaan lahan tanpa ijin tersebut.

Anugrah Sekumur (AS)
LembAHtari mendesak agar Polres Aceh Tamiang segera menindaklanjuti pengaduan yang sudah lama tertunda. Mengingat hasil monitoring LembAHtari bersama warga masyarakat desa Pematang Durian dilapangan 19 Maret dan 14 April 2011 menemukan 4 unit Escavator dan 1 unit Bulldozer yang sedang bekerja membuka lahan perkebunan.

Sayed membeberkan; PT AS yang sama sekali belum memiliki Ijin Usaha Perkebunan Besar (IUP-B), Hak Guna Usaha (HGU) Ijin, Pembukaan Lahan, Ijin Penggunaan Alat Berat, bahkan Perusahaan melanggar komitmen UKL-UPL—Unit Pemantau Lingkungan dan Unit Pengelolaan Lingkungan—sesuai dengan qanun nomor 21/2002 tentang pengelolaan sumber daya alam.

Selanjutnya PT AS juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Fakta yang kami temukan dilapangan ternyata; PT AS telah mengerjakan lahan mencapai 450 hektar dari usulan HGU 850 hektar dengan membuat teresan , penanaman, penggunaan alat berat bahkan diduga membuat dan memasang patok BPN fiktif sampai ke desa.” Kata Sayed.

Menurutnya itu sudah merupakan penyimpangan hukum dan atauran serta pembohongan public dan telah menjurus kepada sanksi pidana. “ini akibat salah kebijakan yang dilakukan oleh Syahri, sebab membiarkan perusahaan terus bekerja, tanpa melihat aturan dan kaidah yang ada. Saya minta Syahri segera dip roses hokum.” Katanya.

Mestika Prima Lestri Indah (MPLI)
Disisi lain PT MPLI melakukan lean clearing meskin ijin leanclearing dari Gubernur Pemerintah Aceh Irwandi belum keluar. Hasil monitoring LembAHtari menemukan PT MPLI membelah bukit-bukit dengan membuka alur—diameter tinggi 4 meter dan lebar 3 meter—yang di tembuskan ke sungai.

Kondisi ini akan memperparah terjadinya potensi banjir bandang jika terjadi hujan deras dengan debit air lebih. Pihak perusahaan juga memindahkan patok yang dipasang oleh BPN—menggeser—dengan tujuan untuk melebarkan HGU mereka.

“Ini kejahatan lingkungan dan tidak bisa di tolerir, apalagi dokumen UKL-UPL perusahaan baru diurus; mereka sudah melakukan kegiatan dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah aspek lingkungan dan Undang-Undang serta aturan Pemerintah.” Tegas Sayed.

Disamping itu, tindakan penghentian dari Dishutbun Atam hanya selogan saja, buktinya hingga kini mereka—ke tiga perusahaan—terus bekerja. Sepertinya ada indikasi penyimpangan yang dilakukan Syahri terhadap perusahaan.

“Buktinya, untuk apa seorang kepala dinas mau mengurus dokumen dan administrasi perusahaan ke Pemerintah Aceh. Padahal sudah kita ketahui bersama kalau apa yang dilakukan perusahaan sudah menyalahi aturan. Ada apa?...” tanyanya.
****

Tanah Politeknik; Kontroversi vs Markup
Desa Sapta Jaya dan Tualang Baru, terletak di Kecamatan Manyak Payed; 15 kilometer arah barat kota Karang Baru, Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang, tiba-tiba sontak, ramai menjadi bahan cibiran pejabat, pengamat tak tertinggal juga masyarakat.

Betapa tidak, seyogiyanya tanah 22,2 hektar milik Negara, dibeli oleh Negara dan dibayarkan kembali oleh Negara, lahan peruntukkan pembangunan Gedung Politeknik. Nilainya sangat fantastis, Rp.31,5 miliar yang dibayar Negara kepada salah satu keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Anehnya, lahan perkebunan yang berstatus tanah negara di Desa Satpta Jaya dan  Tualang Baru, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, bisa menjadi milik pribadi keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Tanah bersertifikat BPN tahun 2007. Luasnya sekitar 22,2 hektare (Ha); kini dijual kepada  Pemkab Aceh Tamiang dijadikan lahan pembangunan kampus Politeknik. Hasil investigasi Leusoh; tanah itu terletak tepat di samping Batalyon Infanteri (Yonif) 111/KB Tualang Cut, Aceh Tamiang. Didalam areal tanah itu, kurang lebih 2 hektar terdapat tanaman kelapa sawit yang telah berumur 15 – 25 tahun, seperti tak terurus dan tidak produktif lagi.

Kontradiktif dengan tanah yang dibeli Pemko Langsa; peruntukkan Universitas Samudera Langsa  di desa Cot Kala, kurang lebih seluas 50 hektar, hanya seharga Rp.5 miliar yang diplot dari dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA). Penasaran?....

Tidak ada komentar:

SELAMATKAN HUTAN PESISIR DAN HULU ACEH TAMIANG
Advokasi,Lingkungan

ShoutMix chat widget