Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

JAJARAN PENEGAK HUKUM DI ACEH LEMAH INDIKASI KORUPSI DAN GRATIFIKASI KUAT


SYAWALUDDIN | LEUSOH


Lemahnya kinerja jajaran penegak hukum di Aceh; menekan angka kriminalitas, korupsi dan gratifikasi menduduki level sangat signifikan. Indikasi rentannya para oknum penegak hukum ikut bermain dan gelimang dalam desah nafas korupsi. Menekan pembangunan di Aceh tak berjalan.

Di Aceh Tamiang khususnya; menurut catatan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) tahun anggaran 2010 saja; ada Rp. 56,125 miliar kasus korupsi tak terjamah hukum, perjalanan karier aparat penegak hukum di Aceh dan khususnya Aceh Tamiang memble. Korupsi terus berjalan dan mengakar tak terjamah.

Realita ini menambah daftar hitam, carut marut rapor penegak hukum di Aceh, membuahkan kue pembangunan stagnan dan bergeming tak mampu bangkit. Tontonan ini yang terus disuguhkan para penegak hukum di Aceh, khusus Aceh Tamiang kepada masyarakat.

Alasan klise dan lifeservice dilakukan, untuk menutupi kebobrokan mereka. “Bagai menonton film koboi ompong yang tak punya senjata saat berperang” kata Sayed Zainal, M.SH direktur eksekutif LembAHtari, menohok kinerja penegak hukum yang bobrok.

Dia prihatin, jajaran penegak hukum di Aceh—Polda, Kejati dan Polres Aceh Tamiang—karena kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Mark Up di Aceh Tamiang sebesar Rp.56,125 miliar tahun anggaran 2010 jalan di tempat dan berpotensi telah terjadi mafia kasus.

Sumber Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan; dana infrastruktur  dan prasarana daerah sebesar Rp.24,625 miliar—pengadaan alat-alat Kesehatan (Alkes) Rp.9,625 miliar, Pembangunan Kantor Datok dan Pengaspalan Jalan Kantor Lingkup Setdakab Rp.15 miliat—yang diatur dalam Permenkeu nomor 113/PMK-07/2010, 14 Juni 2010 tentang pedoman umum alokasi dana.

Sedangkan dana sebesar Rp.31,5 miliar untuk ganti rugi tanah rencana pembangunan gedung Politeknik seluas 22,2 hektar sumber dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Pemerintah Aceh (APBA) 2010, terindikasi kuat telah terjadi Mark Up terstruktur.

“Saya pikir, kasus pengadaan Alkes senilai Rp.9,625 miliar yang dimenangkan oleh CV Fahyusma Sakti (CV FS) kontrak nomor 527/a/945/APBN-P/Dinkes-Atam/XII/2010 yang di tangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh baru menetapkan 2 tersangka—pada banyak pihak yang bermain dalam kasus ini cuci tangan—yaitu Direktur Perusahaan dan Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tamiang”. Ucap Sayed.

Sedangkan  dugaan keterlibatan pihak lain, terutama saudara ‘EMP’ yang memiliki perjanjian kerjasama dengan direktur tanggal 06 Desember 2010 (perjanjian Notaris Nomor 006 di Medan) dan keterlibattan oknum Anggota Wakil DPRK Aceh Tamiang dikuatirkan akan hilang di tengah jalan.

Walaupun sejak awal dalam proses penyelidikan direktur perusahaan dan saksi telah memberikan keterangan secara terbuka dan jelas. Disisi lain kaitan kasus dugaan Mark Up pembangunan kantor  datok dan pengaspalan jalan di Lingkup Stdakab Aceh Tamiang yang ditangani Polda Aceh menjelang tahun 2012, secara mencurigakan kasus ini hilang ditengah jalan.

Padahal Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Setdakap Aceh Tamiang telah melakukan pengalihan  mata anggaran sebesar Rp.6.404 miliar untuk pekerjaan pengaspalan yang dimenangkan oleh perusahaan asal Jambi, Sumatera Selatan CV Merangin Karya Sejati.

Meski Pasal 03 Ayat 1,7 Permenkeu menyatakan bahwa ‘Daerah yang menggunakan dana infrastruktur dan prasarana tidak boleh melakukan penggeseran alokasi dana antar gedung’ bahkan DPRK Aceh Tamiang pada saat penyampaian pendapat akhir  pada 10 Desember 2010 lalu tentang perubahan APBK-Pmenolak dan tidak menyetujui.

Ironisnya, dugaan Mark Up ganti rugi tanah; rencana pembangunan Politeknik sebesar Rp.31,5 miliar dengan luas 22,2 hektar tahun 2010, dari eks tanah Negara menjadi milik pribadi. Kasus yang ditangani oleh Polres

KEINDAHAN TAK TERUSIK DI GUNUNG TITI AKAR











Minggu, 25 Desember 2011

LembAHtari INGATKAN

DI AWAL 2012 ACEH TIMUR, KOTA LANGSA 
DAN ACEH TAMIANG BERPOTENSI ALAMI
BANJIR BANDANG JILID DUA



SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com
Berdasarkan hasil pemutakhiran data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) Aceh dan hasil pantauan lapangan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), tiga wilayah Kabupaten Kota di Aceh berpotensi dilanda Banjir Bandang.

Tiga Kabupaten Kota berpotensi Banjir Bandang dari bulan Januari – Maret 2012 akibat curah hujan yang tinggi adalah Aceh Tamiang, Kota Langsa dan Aceh Timur khususnya dan wilayah Pantai Barat – Selatan Aceh.

Curah hujan yang tinggi serta cuaca ekstrim, menjadi pemicu utama terjadinya Banjir Bandang. Termasuk factor geografis; pembukaan tegakkan hutan sebagai alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan perladangan liar.

“Memang Aceh di bulan Januari sampai Maret 2012 berpotensi terjadinya Banjir Bandang, terutama wilayah Aceh Timur, Kota Langsa dan Tamiang. Semua ini akibat factor geografis. Termasuk cuaca ekstrim dan curah hujan yang tinggi serta pembalakkan liar, Alih fungsi hutan dan perladangan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Ini menjadi pemicu utama.” Tegas Sayed Zainal Direktur Eksekutif LembAHtari kepada wartawan kemarin.      

Peringatan dini Banjir Bandang Jilid dua tersebut; berpotensi  kuat bakal terjadi di wilayah Aceh Tamiang, mengingat posisi pemerintah kabupaten; berada di hilir DAS tamiang. Sedangkan tiga kabupaten diwilayah hulu adalah Aceh Timur, Gayo Luwes serta Kabupaten Langkat (Sumatera Utara) dimana eskalasi penebangan liar ditiga kabupaten dimaksud masih sangat tinggi.  

LembAHtari meminta, warga Aceh dan Aceh Tamiang khususnya untuk berhati-hati dan membuat persiapan dini untuk mengurangi resiko dampak bencana, khususnya bagi warga yang bertempat tinggal di Spadan DAS  Tamiang.

Menurut Sayed, hal tersebut tak terlepas dari beberapa factor pemicu lainnya. Seperti cuaca yang terlalu ekstrim, perusakan tutupan lahan di wilayah Aceh Tamiang dan Timur, baik dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) maupun di wilayah pesisir pantai Tamiang dan Timur.

“factor lain adalah perusakan hutan bakau (diwilayah hilir) untuk alih fungsi menjadi perkebuanan Kelapa Sawit illegal dan besar-besaran. Disisi lain DAS Tamiang yang luasnya + 4.598 km dan panjang + 218,5 km yang saat ini telah kritis—termasuk DAS rawan Banjir”. Ujar dia.

Jika menilik data BMKG Aceh, Desember 2011 hingga Maret 2012; curah hujan terendah yang dialami Aceh Tamiang berada pada posisi 151 sampai dengan 300 milimeter perdetik, sedangkan kategori tinggi 301 sampai 400 milimeter perdetik, merupakan tingkat yang membahayakan.

Jika dibandingkan dengan kejadian Banjir Bandang tahun 2006 lalu curah hujan tertingginya hanya 150 sampai dengan 200 milimeter perdetik. “kita bisa bayangkan curah hujan terendah yang akan datang berada pada angka 151 sampai dengan 300 milimeter perdetik, berbanding terbalik dengan banjir bandang tahun 2006, curah hujan tertingginya hanya 150 sampai dengan 200 milimeter perdetik. Ini sudah tahap sangat kiritis dan signifikan,” katanya.

Kondisi 3 bulan kedepan merupakan kondisi kritis, dimana diperkirakan DAS Tamiang tidak mampu menampung debit air yang melimpah, akibat curah hujan yang sangat tinggi. LembAHtari sangat prihatin jika semua pihak, khususnya Pemkab Aceh Tamiang dalam semua program untuk memperkecil factor penyebab kerusakan DAS dan hutan di wilayah hulu.

“Ironisnya perencanaan dan penanganan DAS Tamiang tidak menjadi skala prioritas jika dilihat dari data perusakan kawasan sejak tahun 2010 hingga 2011; perusakannya begitu cepat, apalagi kaitannya dengan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan peredaran kayu illegal masih signifikan”.

Titik peredaran kayu illegal; Simpang Jernih (Aceh Timur), Kecamatan Tenggulun, Bandar Pusaka dan Sekrak. Sedangkan untuk wilayah hilir pergerakan perusakan hutan Mangrove di Kecamatan Bendahara, Seruway, Banda Mulia dan Manyak Payed. Sementara Leading Sektor terkait tidak menghentikannya.

LembAHtari menghimbau; penanganan kemuungkinan banjir Bandang di Aceh Tamiang tahun 2011 untuk memperkecil dampak bencana segera didiskusikan secara terbuka dan transfaran dengan melibatkan semua pihak untuk menghitung semua kemungkinan-kemungkinan dan mengambil langkah konkrit, sehingga dampak bisa diminimalisir. 


Senin, 19 Desember 2011

SELISIK

9 Tahun ‘Sengkarut’ 
Bumi Muda Sedia


SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com

Sembilan tahun sudah berjalan, Kabupaten di penghujung  Timur Aceh itu bergelar; Aceh Tamiang (Atam), atau dijuluki Bumi Muda Sedia. Bak ‘Bayi’ yang dibesarkan dari gelimangan ‘vitamin dan Gizi’ bergeming tak mampu berjalan, meski harus dengan terseok.

‘Dehidrasi’ Bayi Tamiang disebabkan orang cerdas yang pintar mempecundangi dan menggerogoti pundi-pundi rupiah kabupaten itu, tak terkecuali; korupsi menjalar menyelimuti tubuh Aceh Tamiang  memaksa bayi sukar untuk maju dan berkembang.

Sengkarut telah mengakar, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) yang prestise bersama proyek-proyek mercusuar-nya tak mampu mengubah wajah Tamiang menjadi lebih maju, malah terkesan DPU memlihara ‘orang bermasalah’, bukan berjiwa membangun.

Lalu; Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) membiarkan pembukaan perkebunan kelapa sawit tanpa surat ijin. Agaknya kantor yang satu ini mendapat pupuk sawit bersubsidi dari perusahaan perkebunan, yang terlihat subur bukan pohon kelapa sawit. Tapi petinggi di Dishutbun yang semakin subur.

Jalan dua jalur….., Alkes Rp.8,8 miliar, Jalan lingkungan di kantor Pemkab Rp.15 miliar, Pembelian Tanah Negara oleh Negara untuk lahan Politeknik Rp.33 miliar, ini adalah sedikit contoh proyek bermasalah yang menyita dan menyedot anggaran pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang ratusan miliar. Luber ke kantong pejabat korup.

Tak ada tanda-tanda ‘mereka’ jadi pesakitan; hening dari jeratan hukum, meski media dan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) terus menyorot kasus-kasus yang terjadi di Aceh Tamiang. Ah…biarkan saja, Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu hihi…lucu juga ya.

Agaknya, bukan saja Dehidrasi pembangunan, tapi juga Dehidrasi Moral dan Etika di Bumi Muda Sedia, hingga menyeret nama seorang oknum wakil ketua DPRK dan Anggota DPRK Aceh tamiang dalam kasus Alkes dan penjualan tanah Negara kepada perusahaan perkebunan.

Akankah Bayi Tamiang yang baru berusia Sembilan tahun tersebut bisa berjalan?...meski gizi dan vitamin cukup tapi terdehidrasi oleh penggerogot?...lalu sampai kapan Aceh Tamiang bisa memiliki pejabat yang bermoral dan beretika, demi kemajuan pembangunan dan peradaban?...semua masih hanya sebatas tanda tanya. “Itukan jawabannya, anak kecil juga tau pak hehe...” (lihat table proyek bermasalah)   
****

    
Masih ingat tokoh controversial yang membangun kota Jakarta di era 70-an; tak lain adalah Ali Sadikin—bang Ali—dirinya di cemooh, dikatakan Bang Ali membangun Jakarta dilakukan dari hasil Perjuadian dan Prostitusi. Tak peduli apa kata orang, akhirnya Jakarta terbangun dengan megah hasilnya sangat pantastis bisa diterima dan dinikmati banyak orang hingga kini.

Ada sisi menarik, meski di cemooh. Sosok Bang Ali bukanlah penggerogot uang Negara seperti kebanyakan pejabat, dirinya tulus. Agar kota Jakarta bisa terbangun dari tidur panjang.  Bang Ali tidak menjual mimpi tapi fakta.

Bagaimana dengan pejabat di Aceh Tamiang; masih tanda tanya besar, akuntabilitas dan loyalitasnya perlu dipertanyakan, buktinya segudang efek Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa di raih Pemkab Aceh Tamiang, hanya berjalan di tempat.

Sektor perindustrian, perkebunan, minyak dan gas. Merupakan devisa terbesar  disusul potensi wilayah pesisir dan pertanian, tapi hanya sebatas kepentingan pribadi dan kelompok. Tak ada upaya mengubah fotensi menjadi devisa bagi kepentingan pembangunan di Aceh Tamiang.

Seberapa pedulikah pejabat di tubuh Pemkab Aceh Tamiang mau mem-push pembangunan disemua sector, agar  tercapai pembangunan yang merata dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang menerima dampak positif dari kue pembangunan itu. Mari kita lihat sepak terjang mereka.
****

Alkes dan Jalan Lingkup Kantor Sekdakab Rp.23,8 miliar
Memang sengkarut di tubuh Pemkab Aceh Tamiang masih dalam tahap penyelidikan oleh Tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polda dan Kajati Aceh. yang jadi pertanyaan oleh masyarakat; sampai kapan status penyelidikan berubah jadi penyidik?...

Sampai kapan masyarakat Bumi Muda Sedia harus menunggu, peningkatan status pemeriksaan oleh tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh itu?...khususnya untuk kasus Alkes dan Jalan Lingkup Kantor Sekdakab Aceh Tamiang.

Sampai-sampai Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari); Sayed Zainal MSH mengingatkan Tim Tipikor Polda dan Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, untuk tidak bermain-main dalam kasus tersebut, sebab keterlibatan pejabat tinggi dilingkungan Pemkab Atam.

Seperti ditulis LembAHtari dalam spanduknya “Bapak Kapolda dan Kajati Aceh, kami sudah jenuh menunggu janji pemberantasan dan penegakkan hokum; indikasi kasus penyalahgunaan wewenang, mark up. Proyek sarana prasaran jalan lingkup sekdakab Rp.15 miliar dan Alkes Rp.8,8 miliar di Aceh Tamiang.” Demikian tulis spanduk rentang LembAHtari itu.

Agaknya, happy ending dua kasus ini diragukan keseriusannya dalam penanganannya. “kami bosan dan jenuh menunggu janji-janji penegakkan hukum dari dua institusi prestise—Polda dan Kejati—di Aceh ini, jangan sampai masyarakat apatis dan menganggap ada kolusi untuk penyelesaian kasus tersebut.” Tegas Sayed Zainal kepada Lesusoh, akhir pecan lalu.     

Sayed menohok, telah terjadi makelar kasus dalam pengadaan paket proyek senilai Rp.23,8 miliar Tahun Anggaran 2010. Sebab ada indikasi pihak tertentu mencoba untuk membelokkan dan mengaburkan data dan fakta lapangan. Akibatnya para pelaku dan tokoh inisiator tidak terjamah hokum.

Bahkan;  jika tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh lemah dalam mengungkap kasus ini, diyakini mereka (tim) tidak mampu mengungkap aliran dana yang disalurkan kedalam mega proyek bermasalah tersebut.

Sayed menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) nomor 113/PMK.07/2010 tanggal 14 Juni 2010, dimana dalam Pasal 3 ayat 1-2 masih melarang melakukan pengalihan dana yang tidak sesuai dengan Permenkeu.

Sedangkan Sekdakab Aceh Tamiang telah melakukan pembelok-kan aliran dana itu; seperti, paket pengerjaan pengerasan dan pengaspalan jalan komplek perkantoran Pemkab Aceh Tamiang senilai Rp.6.404.755.000 dengan nomor kontrak SPK/APBN-P/BP/2010 tanggal 9 Nopember 2010. Dimenang oleh PT Merangin Karya Sejati—domisi Jambi.

“Saya pikir ini adalah tindakan atau perbuatan melwan hokum dan terindikasi telah terjadi mark-up. Ini bisa menjadi perbandingan perusahaan yang dikalahkan dalam pelaksanaan tender, padahal dalam dokumen penawaran pelelangannya lebih riil—nyata.” Ujarnya.

Disisi lain, Sayed juga membeberkan yang berkaitan dengan masalah pengadaan Alkes yang kontraknya senilai Rp.8,842.363.000 nomor Surat Perintah Membayar (SPM) 439/-/SPP-LS/1.02.01.2010 atas nama CV Payusma domisili Banda Aceh.

Menurut Dia; ada hal yang aneh dan janggal. Sebab tanggal kontrak 10 Desember 2010. Tiga hari kemudian  tanggal 13 Desember 2010 dana bisa di cairkan sementara; indikasinya, barang belum masuk. Sangat ironis. Pihak penerima barang menandatangani laporan perincian dana proyek—progress—sehingga terjadi pencairan. Apalagi indikasinya barang yang ada tidak sesuai dengan spesifikasi awal.

“Dalam kasus ini LembAHtari komit bersama elemen masyarakat akan menggiring dan mengawal kasus ini sehingga proses akhir dalam pemberantasan kasus korupsi di tubuh Pemkab Aceh Tamiang akan terungkap. Termasuk jika oknum Sekda dan oknum anggota Dewan DPRK Aceh Tamiang harus diproses sesuai aturan yang berlaku.” Jelasnya.

Disisi lain, yang dikuatirkan lembAHtari terhadap kinerja Tim Tipikor Polda dan Kajati Aceh; tidak bekerja secara serius. Sayed membuat perbandingan; seperti kasus pembangunan jalan—pengerjaan pengaspalan— desa Suka Mulia/Suka Damai sepanjang 6 ribu meter di Kecamatan Banda Mulia tahun 2007 lalu. Atas nama PT Karya Muda senilai Rp.600 juta lebih.

Dalam proses hokum dipersidangan; pelaku utamanya yang merugikan Negara tidak terjamah oleh hokum—putusan pengadilan 22 Februari 2011 di Pengadilan Negeri Kualasimpang—bahkan ada yang tidak dihadirkan sebagai saksi, sehingga yang menjadi korban bukan pelaku utama. “itu contoh kasus mafia preadilan yang terjadi di Aceh Tamiang, agaknya hukum bisa dibeli dengan uang. Apa memang seperti itu aturan hukumnya pak.” Tanya Sayed mengakhiri.
****

Konflik PT AS, PT MPLI dan PT SKPI
Membuka  Lahan tanpa ijin seluas 850 hektar di kawasan desa Pematang Durian dan Desa Sekumur  Kecamatan Sekrak PT AS melakukan tindakan ilegal, sedangkan PT MPLI mengerjakan tanpa ijin land clearing lanjutan dari Gubernur di wilayah Blutan desa Kaloy dan  PT Sinar Kaloy Perkasa Indo membuka perluasan HGU 200 hektar di kawasan konservasi gunung titi akar di desa Wono Sari dan Harum Sari di Aceh Tamiang; mulai tersudut.

Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal MSH; minta kasus Kadishutbun Aceh Tamiang (Atam) diproses secara hukum (penyelidikan dan penyidikan), sebab telah mengangkangi wewenang dan melakukan salah kebijakan terhadap PT Anugrah Sekumur (PT AS), PT Mestika Prima Lestari Indah (PT MPLI) dan PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PT SKPI).

“Saya minta kepada pihak Polres untuk melakukan Penyelidikan dan penyidikan terhadap Kadishutbun Atam; Syahri SP, terkait laporan LembAHtari di bulan Juli 2010 dan Somasi terhadap Kadishutbun Atam. Kita minta ini segera diproses.” Tegas Sayed kepada wartawan di Posko Pengaduan LembAHtari Minggu lalu.

Sayed mengungkapkan, bukti-bukti lapangan sudah di paparkan LembAHtari dalam pertemuan tim di Aula Polres Aceh Tamiang pada tanggal 13 April 2011 lalu. Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan dari lahan Revitalisasi, Kelompok Tani Fajar Tamiang, Kelompok Tani Wonolestari dan Perangkat Desa Kaloy serta masyarakat tiga desa yang menjadi imbas pembukaan lahan tanpa ijin tersebut.

Anugrah Sekumur (AS)
LembAHtari mendesak agar Polres Aceh Tamiang segera menindaklanjuti pengaduan yang sudah lama tertunda. Mengingat hasil monitoring LembAHtari bersama warga masyarakat desa Pematang Durian dilapangan 19 Maret dan 14 April 2011 menemukan 4 unit Escavator dan 1 unit Bulldozer yang sedang bekerja membuka lahan perkebunan.

Sayed membeberkan; PT AS yang sama sekali belum memiliki Ijin Usaha Perkebunan Besar (IUP-B), Hak Guna Usaha (HGU) Ijin, Pembukaan Lahan, Ijin Penggunaan Alat Berat, bahkan Perusahaan melanggar komitmen UKL-UPL—Unit Pemantau Lingkungan dan Unit Pengelolaan Lingkungan—sesuai dengan qanun nomor 21/2002 tentang pengelolaan sumber daya alam.

Selanjutnya PT AS juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Fakta yang kami temukan dilapangan ternyata; PT AS telah mengerjakan lahan mencapai 450 hektar dari usulan HGU 850 hektar dengan membuat teresan , penanaman, penggunaan alat berat bahkan diduga membuat dan memasang patok BPN fiktif sampai ke desa.” Kata Sayed.

Menurutnya itu sudah merupakan penyimpangan hukum dan atauran serta pembohongan public dan telah menjurus kepada sanksi pidana. “ini akibat salah kebijakan yang dilakukan oleh Syahri, sebab membiarkan perusahaan terus bekerja, tanpa melihat aturan dan kaidah yang ada. Saya minta Syahri segera dip roses hokum.” Katanya.

Mestika Prima Lestri Indah (MPLI)
Disisi lain PT MPLI melakukan lean clearing meskin ijin leanclearing dari Gubernur Pemerintah Aceh Irwandi belum keluar. Hasil monitoring LembAHtari menemukan PT MPLI membelah bukit-bukit dengan membuka alur—diameter tinggi 4 meter dan lebar 3 meter—yang di tembuskan ke sungai.

Kondisi ini akan memperparah terjadinya potensi banjir bandang jika terjadi hujan deras dengan debit air lebih. Pihak perusahaan juga memindahkan patok yang dipasang oleh BPN—menggeser—dengan tujuan untuk melebarkan HGU mereka.

“Ini kejahatan lingkungan dan tidak bisa di tolerir, apalagi dokumen UKL-UPL perusahaan baru diurus; mereka sudah melakukan kegiatan dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah aspek lingkungan dan Undang-Undang serta aturan Pemerintah.” Tegas Sayed.

Disamping itu, tindakan penghentian dari Dishutbun Atam hanya selogan saja, buktinya hingga kini mereka—ke tiga perusahaan—terus bekerja. Sepertinya ada indikasi penyimpangan yang dilakukan Syahri terhadap perusahaan.

“Buktinya, untuk apa seorang kepala dinas mau mengurus dokumen dan administrasi perusahaan ke Pemerintah Aceh. Padahal sudah kita ketahui bersama kalau apa yang dilakukan perusahaan sudah menyalahi aturan. Ada apa?...” tanyanya.
****

Tanah Politeknik; Kontroversi vs Markup
Desa Sapta Jaya dan Tualang Baru, terletak di Kecamatan Manyak Payed; 15 kilometer arah barat kota Karang Baru, Ibukota Kabupaten Aceh Tamiang, tiba-tiba sontak, ramai menjadi bahan cibiran pejabat, pengamat tak tertinggal juga masyarakat.

Betapa tidak, seyogiyanya tanah 22,2 hektar milik Negara, dibeli oleh Negara dan dibayarkan kembali oleh Negara, lahan peruntukkan pembangunan Gedung Politeknik. Nilainya sangat fantastis, Rp.31,5 miliar yang dibayar Negara kepada salah satu keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Anehnya, lahan perkebunan yang berstatus tanah negara di Desa Satpta Jaya dan  Tualang Baru, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang, bisa menjadi milik pribadi keluarga pengusaha di Aceh Tamiang.

Tanah bersertifikat BPN tahun 2007. Luasnya sekitar 22,2 hektare (Ha); kini dijual kepada  Pemkab Aceh Tamiang dijadikan lahan pembangunan kampus Politeknik. Hasil investigasi Leusoh; tanah itu terletak tepat di samping Batalyon Infanteri (Yonif) 111/KB Tualang Cut, Aceh Tamiang. Didalam areal tanah itu, kurang lebih 2 hektar terdapat tanaman kelapa sawit yang telah berumur 15 – 25 tahun, seperti tak terurus dan tidak produktif lagi.

Kontradiktif dengan tanah yang dibeli Pemko Langsa; peruntukkan Universitas Samudera Langsa  di desa Cot Kala, kurang lebih seluas 50 hektar, hanya seharga Rp.5 miliar yang diplot dari dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA). Penasaran?....

Jumat, 16 Desember 2011

Gusur Paksa Warga Hanya Kambing Hitam

SK PENUNJUKKAN TNGL TINJAU ULANG, MENHUT BOHONGI UNESCO-PBB



SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com

Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) minta kepada Menteri Kehutanan untuk meninjau ulang Surat Keputusan Tentang Penunjukkan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), mengingat ada tiga Item penting yang belum dipenuhi oleh TNGL.

Bahwa TNGL belum melakukan, Penataan batas kawasan hutan, Pemetaan kawasan hutan, dan Penetapan kawasan hutan.  Mengingat Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan.
“Ini yang harus ditinjau ulang, sebab TNGL belum memenuhi tiga tahapan penetapan status hutan, yang mereka klaim sebagai Taman Nasional. Menurut hemat saya ini aneh, TNGL tidak punya hak untuk mengusir warga korban eks konflik Aceh, sementara status TNGL saja belum jelas. Apa-apaan ini.” tegas Sayed Zainal, direktur Eksekutif LembAHtari.

 Sayed meminta TNGL, untuk menunjukkan batas Taman Nasional yang mereka klaim para warga korban eks konflik Aceh masuk dan menduduki wilayah mereka. “maunya TNGL itu melihat dan mendefinisikan, TNGL itu sudah layak atau belum. Disebut sebagai TNGL. Kalau memang itu TNGL mana batasnya tunjukkan.” Tegasnya. 

Menurut LembAHtari, Pemerintah RI—khususnya Menteri Kehutanan—ada indikasi kuat telah membuat laporan bohong ke dunia internasional, terutama kepada United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO-badan PBB) yang khusus menangani tentang Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, termasuk kepada ASEAN Park Haritage. Notabene badan pendonor.

Meningat syarat-syarat diatas belum terpenuhi khususnya di wilayah  Sei Lepan, Besitang apa yang dikalim menjadi bahagian dari kawasan TNGL. “Kalau sebelumnya TNGL mau membodohi masyarakat dan menutupi kebobrokan TNGL dalam menutupi indikasi korupsi dan pembiaran terhadap perusahaan. Sekarang tidak lagi. Catat dan ingat itu, saudara Andy Basrul.”

Apalagi, wilayah ini merupakan kawasan yang sudah dieksploitasi besar-besaran terhadap kayu dan keanekaragaman hayati, kalau dilihat SK Mentan Nomor 837/kpts-II/1980 dari penentuan skorsing saja, kawasan yang ditempati para warga korban eks konflik Aceh tidak mencapai 175 skor keatas sebagai kawasan.

“Artinya, curah hujan yang terjadi rendah, kemiringan rata-rata hanya 20 persen dan factor jenis tanah termasuk tidak peka. Apalagi wilayah ini saat sekarang sudah menjadi sebuah peradaban perkampungan yang maju dengan income perkapita yang tinggi atau sudah mapan.”

Pelaksanaan penggusuran paksa warga korban eks konflik Aceh  di Sei Minyak, besitang Resort Sekoci Kabupaten Langkat Juni 2011 lalu oleh BB-TNGL yang didukung oleh ribuan aparat kepolisian dan TNI Sumatera Utara dan Langkat yang di klaim BB-TNGL masuk dalam TNGL tidak masuk akal dan bukti kegagalan pemerintah, khususnya menteri kehutanan untuk menjamin, melindungi hak-hhak sipil rakyat warga korban eks konflik Aceh sebagai warga Negara yang sah di dalam NKRI.

“Kita bisa buktikan, warga korban eks konflik Aceh yang berada di Sei Minyak—sudah sebelas tahun—tidak mendapatkan status kependudukan, termasuk; mereka tidak diikutkan dalam pilpres, pilkada dan legislative. Kalau mau tahu turun dan data, jangan hanya bisa ngomong di belakang meja. Apa ini yang disebut Clean Government dan Good Governance…?.” Tagasnya.

Klaim BB-TNGL, bahwa; wilayah yang ditempati oleh warga korban eks konflik Aceh di Barak Induk, Damar Hitam dan Sei Minyak, masuk dalam kawasan TNGL. Secara de vacto dan de jure telah terjadi perbedaan pendapat SK Menhut nomor 276/kpts-II/1997, hanya bersifat penunjukkan kawasan TNGL seluas 1.094.692 hektar. Bukan penetapan.

Ironisnya,  SK Menhut nomor 276/kpts-II/1997 sangat bertentangan dengan Kepmenhut nomor 32/kpts-II/2001 tentang criteria dan standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Selanjutnya Kepmentan nomor 837/kpts/UM/II/1981; tentang criteria dan tata cara penetapan Hutan Lindung, termasum Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan kehutanan berdasarklan kondisi riil kawasan TNGL, khususnya di resort Sekoci (Sei Lepan, Sikundur, Arah Senapal dan Besitang)

LembAHtari; mendukung dan konsen terhadap kepentingan konservasi apalagi berkaitan dengan penyelamatan dan kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang didalamnya ada TNGL. Tetapi masalah warga korban eks konflik Aceh yang telah menempati Barak Induk, Damar Hitan dan Sei Minyak adalah masalah kemanusiaan, pelanggaran HAM dan hak Perlindungan Anak—menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Naif sekali rasanya kalau mempertahankan status kawasan yang hanya baru penunjukan bukan penetapan, lalu mengenyampingkan kemanusiaan, pelanggaran HAM dan Perlindungan Anak. Ingat UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Serta Konvensi PBB 20 November 1989 tentang perlindungan anak. Jika terjadi pengguran paksa, masalah ini akan menjadi  masalah dunia internasional.” Kata Sayed.

LembAHtari menghimbau, segera hentikan penggusuran warga korban eks konflik Aceh oleh BB-TNGL dengan bantuan dan dukungan Polri dan TNI. Dialog, duduk dan tata ulang kawasan, agar mereka bisa hidup berdampingan dengan hutan melalui komitmen untuk menjaga hutan yang lestari dan berkelanjutan.

“Jangan paksakan kehendak, kalau hanya untuk kepentingan sesaat. Kepentingan kemanusiaan diatas segalanya. Warga korban eks konflik Aceh berdarah merah putih, bukan bangsa asing. Berilah status kependudukan, apakah mereka—warga korban eks konflik Aceh—berasal dari Negara lain, sehingga harus meminta suaka politik?...keterlaluan.”

LembAHtari

BB TNGL LAKUKAN PEMBOHONGAN PUBLIK



SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com

Lembaga Advokasi Hutan Lestari  (LembAHtari); menentang dan menolak rencana penggusuran paksa oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Lesuser (BB-TNGL) warga korban eks konflik Aceh di tiga titik; Barak Induk, Sei Minyak dan Damar Hitam.

Meski tanggal 13 Juni lalu BB-TNGL gagal melakukan tindakan refresik dan penggusuran paksa warga korban eks konflik Aceh. “jika ini dilakukan, dan dipaksakan akan berdampak besar kepada tindakan kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak.” Tegas Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M.SH kepada wartawan di Posko LembAHtari Karang Baru – Aceh Tamiang.

Lebih jauh, Sayed menjelaskan; data konkrit yang didapat LembAHtari di 2011 ini. ternyata warga korban eks konflik Aceh mencapai 709 kepala keluarga, dengan total 4284 jiwa terbagi; Pria sejumlah 2873 jiwa dan perempuan 1411 jiwa. Sedangkan bayi lima tahun (balita) mencapai 706 jiwa selanjutnya usia anak sekolah dari TK hingga SLTA dan Kuliah 756 jiwa.

Analisa LembAHtari di lokasi; telah terjadi proses pembauran kehidupan social, ini terbukti untuk wilayah Barak Indul dan Damar Hitam telah memiliki status kependudukan Desa Harapan Maju, kecamatan Sei Lepan. Kecuali Sei Minyak yang belum memiliki status kependudukan.

 “Saya pikir perlu perhatian sangat khusus untuk masalah kependudukan ini. Yakni Pemerintah Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, sebab kalau tidak kedua pemerintah ini saya anggap gagal dalam menjamin dan melindungi hak hidup warganya.”

TNGL Lakukan Pembohongan Publik
Fakta yang didapat LembAHtari di tiga titik dilokasi; sebelum tahun 1999 bahkan tahun 1974 sudah pernah berdiri Sawmill (kilang pengolahan kayu permanen) di beberapa titik, mereka telah membuat jalan-jalan block sebagai lintasan pengambilan kayu.

Apalagi Menteri Kehutanan pada tahun 1991 pernah menerbitkan Surat Keputusan Menteri nomor 277/KPTS-11/1991 tentang ijin Hak Penguasaan Hutan (HPH) atas nama PT Mulya Karya Jaya Co (PT MKJ) seluas 47 ribu hektar yang membentang dari kelompok hutan sungai besitang, Bingai, Hulu, Belulus dan Sungai Bengap.

“Jadi saya pikir; wilayah itu merupakan wilayah Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Areal Penggunaan Lain (APL), itu sesuai surat Kanwil Kehutanan Sumatera Utara Nomor 2223/KWL-5/1995 tertanggal 19 Agustus 1995 yang ditujukan ke menteri kehutanan seluas 7800 hektar APL.” Kata Sayed

Ditambahkan, berkaitan dengan relokasi warga korban eks konflik Aceh sejak tahun 2000 hingga 2011 itu tindakan BB-TNGL yang gagal. Malah LembAHtari di tahun 2000 pernah turut andil dalam Relokasi ke Mahato, Provinsi Riau sekitar 200 kk, namun beberapa bulan kemudian mereka—pengungsi yang direlokasi—kembali ke asal pengungsi karena teracam kelaparan.

“Inipun bantuan Unit Manajemen Leuser (UML) bukan BB-TNGL.” Katanya. Selanjutnya pada tahun 2003 Jasuift Refuged Service (JRS) melakukan Pembina terhadap 33 warga korban eks konflik Aceh di Batang Toru. Mereka disana buatkan rumah dan pertapan kebun seluas 2000 meter per kk.

“Artinya saya melihat andil BB-TNGL hanya sekedar pendamping, bukan pelaku. Ini kan Aneh. Sedangkan di Maret 2011 itu hanya 13 kk saja yang direlokasi dari Sei Minyak secara sukarela. Bukan seperti yang di sebutkan kepala BB-TNGL Andy Basrul sebanyak 42 kk. Itu bohong. Andy sudah melakukan pengkaburan data dan pembohongan public.”

Menurut Sayed, fakta lain; kerusakan kawasan yang dikalim Andy Basrul dilakukan oleh warga korban eks konflik Aceh, itu bohong. Fakta dilapangan sejak tanggal 28 Mei 1974 sudah berdiri tapak Sawmill di wilayah Sei Lepan dan Besitang.

“Saya pikir sejak tahun 70-an wilayah ini sudah dieksploitasi secara besar-besar untuk kebutuhan playwood, termasuk dari wilayah Sekundur yang berbatas dengan Pemkab Aceh Tamiang. Pembohongan apalagi yang mau di mainkan Andy Basrul?..saya tambahkan, jangan pernah sekalipun Andy Basrul menyebut warga korban eks konflik Aceh tersebut sebagai pendatang haram. Itu saya ingatkan untuk dia ” tegasnya lagi.

Disisi lain, warga korban eks konflik Aceh sudah membaur dengan masyarakat dan petani lain. Malah mereka sudah mengorganisir diri menjadi Kelompok Tani Perjuangan Langkat (Ketapel) dan kelompok Petani Indonesia Pengungsi Aceh (PIPA).

Diingatkan Sayed, masalah kemanusiaan harus dipertimbangan secara komprehensif, jangan seperti kejadian penggusuran Makam Mbah Periok, yang menelan banyak korban.  

Kami Duduki Tanah Negara Bukan TNGL
Koordinator Warga Korban Eks Konflik Aceh, Sukardi Darmo, sangat kecewa dengan pernyataan Andy Basrul, yang mengatakan kepada salah seorang reforter salah satu stasiun tv swasta, ingin menghilangkan nyawanya dan melindas warga dengan alat berat yang mencoba menghalangi penggusuran dengan tidur di jalan.

“Ini pembunuhan karakter. Terus saya dikatakan sebagai cukong tanah dan sekongkol dengan pemilik Hak Guna Usaha (HGU), Allah maha adil pasti menujukkan siapa yang benar dan salah.” Tegas Darmo.

Pernyataan Andy Basrul membuat warga korban konflik Aceh resah, sedikitnya 700 kepala keluarga atau 4000 an warga yang menempati Barak Induk, Damar Hitam dan Sei Minyak terus berjaga-jaga, jangan sampai ada penyusupan dengan menggunakan senjata tajam, tapi mengatasnamakan warga korban konflik Aceh.

 “Kita terus mewaspadai setiap orang asing yang masuk ke lokasi di tiga titik pengungsi korban konflik Aceh tersebut. Sampai kini kita terus pantau tindakan mencurigakan dari tamu yang keluar dan masuk wilayah sini.” Kata Darmo, kepada wartawan.

Tegas Darmo, pihaknya tidak pernah membawa senjata tajam untuk melakukan perlawanan, pun demikian, warga korban eks konflik Aceh hanya berjuang sampai mati, mempertahankan hak menempati tanah Negara, meski harus dilindas dengan alat berat. “Senjata kami zikir dan doa kepada Allah, minta petunjukNya. Bukan dengan senjata tajam, itu bohong” 

Dia meminta warga, agar tidak terpancing dengan kondisi-kondisi yang dapat memojokan pihak warga korban konflik Aceh. “sebab saya banyak mendapat ancaman penghilangan nyawa, dari orang-orang yang berkepentingan terhadap TNGL, namun yang perlu dicatat, kami tidak pernah merampas tanah yang di klaim wilayah TNGL, tapi tanah Negara yang kami duduki.” Tegasnya.

Darmo menjelaskan; saat mereka datang di tahun 2000 lalu, saat kehidupan warga carut marut tak satupun orang yang berkepentingan mengklaim wilayah tersebut masuk dalam TNGL, kenapa setelah 11 tahun warga menduduki wilayah tersebut baru muncul pernyataan tanah yang mereka tempati adalah wilayah TNGL.

“Kami bukan binatang, kami manusia. Jadikanlah kami manusia sebagai manusia. Kami tau malu dan perasa. Tapi adakah mereka  yang mengaku sebagai pemangku jabatan tapi tidak merasa ada rasa kemanusiaan di hati mereka.”

Lebih jauh Darmo menyatakan, pihaknya siap menghadapi penggusuran paksa yang dilakukan oleh BTNGL, namun yang perlu di fahami warga akan melaporkan tindakan refresif  ke KOMNAS ANAK dan KOMNAS HAM ke Jakarta untuk minta perlindungan.

Namun, lanjut Darmo; terlebih dahulu warga korban konflik Aceh melakukan audiensi ke gubernur Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf dalam waktu dekati  ini yang didampingi oleh Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) dan perwakilan warga korban konflik Aceh.
SELAMATKAN HUTAN PESISIR DAN HULU ACEH TAMIANG
Advokasi,Lingkungan

ShoutMix chat widget