Total Tayangan Halaman

Sabtu, 23 Oktober 2010

Merekomendasikan PT RPI, Bupati dan Kadishutbun Aceh Tamiang Dilapor ke Polisi


LEUSOH|SYAWALUDDIN

jur_nalist@yahoo.com


Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) Aceh, resmi melaporkan Abdul Latief (Bupati Aceh Tamiang) dan Syahri SP Kepala Dinas Kehutnan dan Perkebunan (Kadishutbun) Aceh Tamiang sebagai terlapor I dan II ke Polisi Resort (Polres) Aceh Tamiang.

LembAHtari melaporkan Abdul Latief dan Syahri ke Polisi, atas kasus pemberian ijin rekomendasi areal seluas 8.961 hektar peruntukkan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT Rencong Pulp And Paper Industry (PT RPI) yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh Tamiang.

Dari hasil temuan foto satelit yang dilakukan LembAHtari, dan beberapa lembaga pemerhati lingkungan bhawa; peta hasil telaah yang dilakukan Dishutbun Aceh Tamiang sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan lembaga pemerhati lingkungan di Aceh tersebut.

Peta telaah Dishutbun Aceh Tamiang menemukan kalau lahan yang direkomendasikan tersebut tidak masuk dalam KEL, namun hasil Overlay yang dilakukan oleh LembAHtari dan beberapa lembaga pemerhati lingkungan di Aceh, menemukan kalau lahan seluas 8.961 hektar tersebut masuk kedalam KEL yang didalamnya banyak terdapat tegakkan dan bukan lahan kritis.

“Ini dasar LembAHtari untuk melaporkan mereka—Abdul Latif dan Syahri—sebagai penjahat lingkungan. Tak tanggung-tanggung, jika gubernur merekomendasikan ini, maka wilayah Gunung Sangkapane, Gunung Tetek dan Alur Bhampo akan menjadi gundul dan potensi banjir bandeng lebih besar dari tahun 2006 lalu mulai mengintai Bumi Muda Sedia—sebutan Aceh Tamiang.” Tegas Sayed Zainal, Direktur Eksekutif LembAHtari kepada wartawan Kamis (21/10) di Aceh Tamiang.

Dasar Pengaduan

Lebih lanjut dijelaskan; LembAhtari melaporkan Abdul Latief dan Syahri sudah sesuai hak dan kewajiban serta peran masyarakat Undang-Undang Nomor 26/2007; tentang Penataan Ruang, Pasal 60 Bab III huruf D dan E. bahwa mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan mengajukan tuntutan pemberian ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang.

Selanjutnya Bagi mereka yang melanggar Pasal 69 ayat (1) Bab XI Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007. “Setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud Pasal 61 Huruf A yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang; dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, tentang rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pasal 9 Ayat (2) Huruf A s/d F, salah satunya menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), sebagai kawasan berfungsi Lindung. Dan Pasal 1 Ayat 17 lampiran X, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagai kawasan yang ditetapkan warisan dunia.” jelasnya

Abdul Latief dan Syahri sudah mengangkangi Keputusan Menteri Kehutanan (KEPMENHUT) Nomor 190/Kpts-II/2001 tentang pengesahan batas KEL di wilayah Aceh seluas 2.255.577 hektar. Dan Keputusan Menteri Kehutanan (KEPMENHUT) nomor 10193/Kpts-II/2002, tentang pengesahan batas KEL. Serta Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 150 Ayat 1-2, bahwa Pemerintah menegaskan Pemerintahan Aceh (PA) untuk melakukan pengelolaan KEL di Wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi dan pemanfaatan secara lestari. Dan dilarang mengeluarkan ijin penguasaan hutan dalam KEL.

Penyimpangan Rekomendasi

LembAHtari menemukan penyimpangan atas rekomendasi tersebut, seperti Surat Rekomendasi Dishutbun Aceh Tamiang Nomor 522/2259/2009 tertanggal 29 Oktober 2009 tentang telaahan terhadap rencana pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Aceh Tamiang. Atas nama PT Rencong Pulp and Paper Industry (RPI), tidak melakukan penelaahan secara detail, karena kawasan yang diperuntukkan adalah Hutan Produksi (HP) di dalam KEL tutupan dan potensinya padat.

Bahwa; ternyata kawasan tersebut rata-rata diatas 1000 meter diatas permukaan laut dengan slove (kemiringan) diatas 30° dengan curah hujan yang cukup tinggi. Termasuk daerah tangkapan dan resapan air. Bahwa; Rekomendasi Ijin HTI Nomor 522/2369 tertanggal 7 Desember 2009 yang diterbitkan dan ditanda tangani bupati Aceh Tamiang Drs H Abdul Latief, juga tidak melakukan penelaahan secara detail, tetang keberadaan KEL di Aceh Tamiang, termasuk tidak mempertimbangkan resiko bencana banjir bandang, kerusakan dan bencana ecology yang bakal muncul akibat pemanasan global.

“Anehnya, Berita acara pengecekan lapangan tertanggal 27 April 2010 yang ditanda tangani staf Dishutbun Aceh dan Aceh Tamiang, serta staf teknis bidang kehutanan BP2T Aceh hanya mencantumkan 6 (enam) titik koordinat di kawasan yang kritis dan hal itu tidak mewakili gambaran detail seluruh areal yang diusulkan untuk PT RPI seluas 8.961 hektar.” Papar Sayed

Menurutnya berdasarkan telaah dan pengecekkan lapangan; akibatnya Gubernur Aceh melalui surat nomor 522.51/BP2T/4729/2010 tertanggal 6 Juni 2010, dengan mudah Gubernur Irwandi Yusuf menanda tangani rekomendasi tetang persetujuan pencadangan areal Ijin Usaha Pemnafaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) – HTI dan hal ini bertentangan serta melanggar peraturan perundang Undangan-Undangan yang berlaku tentang Tata Ruang Nasional, keberadaan Ekosistem Leuser.

“Kita kawatirkan apabila perijinan PT RPI beroperasi maka resiko banjir bandang di Aceh Tamiang akan lebih cepat terjadi, sebagai bahan pertimbangan laporan/pengaduan turut kami lampirkan satu berkas rekomendasi. Tegas Sayed mengakhiri.

Tidak ada komentar:

SELAMATKAN HUTAN PESISIR DAN HULU ACEH TAMIANG
Advokasi,Lingkungan

ShoutMix chat widget