Total Tayangan Halaman

Jumat, 16 Desember 2011

Isu Tindakan Refresif dan Gusur Paksa

Lima Ribuan Warga Korban Konflik Aceh
Siap Hadapi Balai TNGL



SYAWALUDDIN | LEUSOH
jur_nalist@yahoo.com

Sedikitnya lima ribuan warga Korban Konflik Aceh yang berada di tiga titik; Barak Induk, Damar Hitam dan Sei Minyak  Kecamatan Sei Lepan dan Besitang, Kabupaten Langkat; Sumatera dari dua hari lalu sudah bersiaga. Menghadapai kemungkinan tindakan represif  dan penggusuran paksa oleh Balai Taman Nasinal Gunung Leuser (BTNGL) kemarin. 

Pernyataan kepala Balai Taman Nasinal Gunung Leuser (BTNGL) Andy Basrul beberapa waktu lalu di media cetak dan elektronik menegaskan; pihaknya akan melakukan operasi pengamanan wilayah hutan.

Dengan menurunkan 1500 personil TNI/Polri, 9 unit alat berat—escavator dan bulldozer—pasukan gajah dan Wana—semacam polisi hutan dengan menggusur penduduk di tiga titik dimaksud.

Pernyataan Andy Basrul membuat warga korban konflik Aceh resah, sedikitnya 700 kepala keluarga atau 5000 an warga yang menempati Barak Induk, Damar Hitam dan Sei Minyak terus berjaga-jaga, jangan sampai ada penyusupan dengan menggunakan senjata tajam, tapi mengatasnamakan warga korban konflik Aceh.

“Kita terus mewaspadai setiap orang asing yang masuk ke lokasi di tiga titik pengungsi korban konflik Aceh tersebut. Sampai kini kita terus pantau tindakan mencurigakan dari tamu yang keluar dan masuk wilayah sini.” Kata coordinator Barak pengungsi Sukardi Darmo, kepada wartawan di lokasi pengungsian.

Dia meminta warga, agar tidak terpancing dengan kondisi-kondisi yang dapat memojokan pihak warga korban konflik Aceh. “sebab saya banyak mendapat ancaman penghilangan nyawa, dari orang-orang yang berkepentingan terhadap TNGL, namun yang perlu dicatat, kami tidak pernah merampas tanah yang di klaim wilayah TNGL, tapi tanah Negara yang kami duduki.” Tegasnya.

Darmo—panggilan akarb Sukari Darmo—menjelaskan; saat mereka datang di tahun 2000 lalu, saat kehidupan warga carut marut tak satupun orang yang berkepentingan mengklaim wilayah tersebut masuk dalam TNGL, kenapa setelah 11 tahun warga menduduki wilayah tersebut baru muncul pernyataan tanah yang mereka tempati adalah wilayah TNGL.

“Kami bukan binatang, kami manusia. Jadikanlah kami manusia sebagai manusia. Kami tau malu dan perasa. Tapi adakah mereka  yang mengaku sebagai pemangku jabatan tapi tidak merasa ada rasa kemanusiaan di hati mereka.”

Lebih jauh Darmo menyatakan, pihaknya siap menghadapi penggusuran paksa yang dilakukan oleh BTNGL, namun yang perlu di fahami warga akan melaporkan tindakan refresif  ke KOMNAS ANAK dan KOMNAS HAM ke Jakarta untuk minta perlindungan.

Namun, lanjut Darmo; terlebih dahulu warga korban konflik Aceh melakukan audiensi ke gubernur Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf dalam waktu dekati  ini yang didampingi oleh Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) dan perwakilan warga korban konflik Aceh.

LembAHtari Himbau TNGL
Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) menghibau BTNGL agar segera menghentikan usaha penggusuran secara paksa warga eks korban konflik Aceh di Sei Minyak kecamatan Besitang, yang di klaim BTNGL masuk dalam Kawasan Taman Nasional.

Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M. SH, mengingatkan; apabila BTNGL dengan menggunakan bantuan dan dukungan TNI/Polri dan unsur Pemda Langkat mencapai 1500 personil akan berdampak kepada tindakan kekerasan.

Sayed mengancam; jika terjadi penggusuran paksa terutama kepada perempuan dan anak, pihaknya akan melaporkan tindakan tersebut ke Komnas Perlindungan Anak dan Komnas HAM akan turun tangan.

Disisi lain; LembAHtari mendukung upaya-upaya konservasi dan program masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan. Oleh karenanya; solusi terbaik adalah penataan ulang kawasan dan memungkinkan untuk disusulkan menjadi kawasan Areal Pengunaan Lain (APL) apabila tiga wilayah warga eks korban konflik Aceh yang diklaim masuk kawasan TNGL.

Ironisnya BTNGL beranggapan bahwa penyebab utama kerusakan kawasan Damar Hitam, Sei Minyak dan Barak Induk Resort Sekoci adalah warga eks korban konflik Aceh. padahal jauh sebelum pengungsi masuk kawasan tersebut sudah ada peruntukan ijin Hak Panguasaan Hutan (HPH) sejak tahun 1990-an.

Bahkan balakan liar—illegal logging—termasuk pendirian kilang-kilang kayu bebas melakukan aktifitasnya. Selanjutnya distribusi hasil kegiatan illegal diangkut melaljui jalur darat dan melewati kantor BTNGL Resort Sekoci.

Penggusuran paksa Desember 2006 lalu oleh BTNGL dengan aparat Kepolisian, menjadi pelajaran pemerintah. Sebab pada saat itu hak hidup, hak bertempat tinggal, hak mendapatkan pendidikan terberangus dengan penggusuran paksa tersebut.

Surat Bupati Kabupaten Langkat Nomor 465.2/368/PEM/2011 tertanggal 17 Februari 2011 yang disampaikan kepada Gubernur Sumut tentang dukungan dan rencana relokasi warga eks korban konflik Aceh, perlu ditinjau ulang.

Sebab hasil monitoring LembAHtari tidak pernah terjadi konflik horijontal dengan warga sekitarnya. Bahkan telah terjadi hubungan harmonisasi dan kekerabatan di wilayah tersebut. Disilain telah terjadi perkawinan silang, antara warga pendatang dan penduduk setempat.

Putusan Pengadilan Negeri Stabat nomor 04/PDT.G/2007/TN.STB dan putusan pengadilan tinggi Sumut harusnya menjadi acuan; sebab, baik pihak penggugat (warga eks korban konflik Aceh – petani) yang mengatasnamakan kelompok tani Perjuangan Langkat dan pihak tergugat (BTNGL dan Pemda Langkat). Bahwa; kedua putusan tersebut memutuskan kawasan yang ditempati warga eks korban konflik Aceh tidak hubungan dengan TNGL dan merupakan tanah Negara.

Tidak ada komentar:

SELAMATKAN HUTAN PESISIR DAN HULU ACEH TAMIANG
Advokasi,Lingkungan

ShoutMix chat widget