Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

JAJARAN PENEGAK HUKUM DI ACEH LEMAH INDIKASI KORUPSI DAN GRATIFIKASI KUAT


SYAWALUDDIN | LEUSOH


Lemahnya kinerja jajaran penegak hukum di Aceh; menekan angka kriminalitas, korupsi dan gratifikasi menduduki level sangat signifikan. Indikasi rentannya para oknum penegak hukum ikut bermain dan gelimang dalam desah nafas korupsi. Menekan pembangunan di Aceh tak berjalan.

Di Aceh Tamiang khususnya; menurut catatan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) tahun anggaran 2010 saja; ada Rp. 56,125 miliar kasus korupsi tak terjamah hukum, perjalanan karier aparat penegak hukum di Aceh dan khususnya Aceh Tamiang memble. Korupsi terus berjalan dan mengakar tak terjamah.

Realita ini menambah daftar hitam, carut marut rapor penegak hukum di Aceh, membuahkan kue pembangunan stagnan dan bergeming tak mampu bangkit. Tontonan ini yang terus disuguhkan para penegak hukum di Aceh, khusus Aceh Tamiang kepada masyarakat.

Alasan klise dan lifeservice dilakukan, untuk menutupi kebobrokan mereka. “Bagai menonton film koboi ompong yang tak punya senjata saat berperang” kata Sayed Zainal, M.SH direktur eksekutif LembAHtari, menohok kinerja penegak hukum yang bobrok.

Dia prihatin, jajaran penegak hukum di Aceh—Polda, Kejati dan Polres Aceh Tamiang—karena kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Mark Up di Aceh Tamiang sebesar Rp.56,125 miliar tahun anggaran 2010 jalan di tempat dan berpotensi telah terjadi mafia kasus.

Sumber Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan; dana infrastruktur  dan prasarana daerah sebesar Rp.24,625 miliar—pengadaan alat-alat Kesehatan (Alkes) Rp.9,625 miliar, Pembangunan Kantor Datok dan Pengaspalan Jalan Kantor Lingkup Setdakab Rp.15 miliat—yang diatur dalam Permenkeu nomor 113/PMK-07/2010, 14 Juni 2010 tentang pedoman umum alokasi dana.

Sedangkan dana sebesar Rp.31,5 miliar untuk ganti rugi tanah rencana pembangunan gedung Politeknik seluas 22,2 hektar sumber dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Pemerintah Aceh (APBA) 2010, terindikasi kuat telah terjadi Mark Up terstruktur.

“Saya pikir, kasus pengadaan Alkes senilai Rp.9,625 miliar yang dimenangkan oleh CV Fahyusma Sakti (CV FS) kontrak nomor 527/a/945/APBN-P/Dinkes-Atam/XII/2010 yang di tangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh baru menetapkan 2 tersangka—pada banyak pihak yang bermain dalam kasus ini cuci tangan—yaitu Direktur Perusahaan dan Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tamiang”. Ucap Sayed.

Sedangkan  dugaan keterlibatan pihak lain, terutama saudara ‘EMP’ yang memiliki perjanjian kerjasama dengan direktur tanggal 06 Desember 2010 (perjanjian Notaris Nomor 006 di Medan) dan keterlibattan oknum Anggota Wakil DPRK Aceh Tamiang dikuatirkan akan hilang di tengah jalan.

Walaupun sejak awal dalam proses penyelidikan direktur perusahaan dan saksi telah memberikan keterangan secara terbuka dan jelas. Disisi lain kaitan kasus dugaan Mark Up pembangunan kantor  datok dan pengaspalan jalan di Lingkup Stdakab Aceh Tamiang yang ditangani Polda Aceh menjelang tahun 2012, secara mencurigakan kasus ini hilang ditengah jalan.

Padahal Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Setdakap Aceh Tamiang telah melakukan pengalihan  mata anggaran sebesar Rp.6.404 miliar untuk pekerjaan pengaspalan yang dimenangkan oleh perusahaan asal Jambi, Sumatera Selatan CV Merangin Karya Sejati.

Meski Pasal 03 Ayat 1,7 Permenkeu menyatakan bahwa ‘Daerah yang menggunakan dana infrastruktur dan prasarana tidak boleh melakukan penggeseran alokasi dana antar gedung’ bahkan DPRK Aceh Tamiang pada saat penyampaian pendapat akhir  pada 10 Desember 2010 lalu tentang perubahan APBK-Pmenolak dan tidak menyetujui.

Ironisnya, dugaan Mark Up ganti rugi tanah; rencana pembangunan Politeknik sebesar Rp.31,5 miliar dengan luas 22,2 hektar tahun 2010, dari eks tanah Negara menjadi milik pribadi. Kasus yang ditangani oleh Polres

Tidak ada komentar:

SELAMATKAN HUTAN PESISIR DAN HULU ACEH TAMIANG
Advokasi,Lingkungan

ShoutMix chat widget